Minggu, 21 Juni 2009

Batuk, Pilek, dan Diare tidak Perlu Antibiotik

PENGGUNAAN antibiotik di Indonesia memang nyaris tanpa arahan. Banyak dokter memberikan antibiotik kepada pasien, padahal penyakit yang diderita mereka sebetulnya tidak memerlukan antibiotik. Indonesia memang belum memiliki standar baku mengenai penggunaan antibiotik, sementara di luar negeri penatalaksanaannya untuk setiap penyakit telah dibakukan.

Menurut peneliti mikrobiologi klinik dr Amin Soebandrio PhD dari Bagian Mikrobiologi FKUI/RSUPN Cipto Mangunkusumo, di negara-negara maju penggunaan antibiotik ada aturannya untuk memperkecil efek samping dari penyakitnya.

"Di kalangan internasional, khususnya di negara maju, telah diberlakukan peraturan perusahaan dalam mengendalikan antibiotik ini. Karena semua pengobatan yang menggunakan antibiotik telah dibakukan dalam appropriate antibiotic therapy (AAT)."

AAT tersebut, kata Amin, merupakan panduan agar tepat indikasinya. Amin memberi contoh seorang pasien yang terkena infeksi, apakah perlu diobati dengan antibiotik?

"Bagaimana obatnya, dosisnya, timing-nya harus jelas. Misalnya, cara pemberian obatnya apakah per oral, disuntikkan atau dioleskan melalui salep. Waktunya apakah sehari dua kali atau sekali. Begitu juga soal meminumnya sebelum atau sesudah makan. Semua itu harus jelas."

Biasanya, kata Amin, pasien yang seharusnya minum antibiotik untuk lima hari, hanya memakainya dua hari karena kondisinya sudah membaik. Penggunaan antibiotik seperti itu tidak tepat, karena akan menyebabkan risiko infeksi tidak sembuh. "Karena pasien terinfeksi bakteri baru yang resisten dalam antibiotik itu, pasien akan terjangkit penyakit lebih parah."

Lebih lanjut, ia menjelaskan, fakta menyebutkan terdapat perbedaan dalam angka kematian akibat infeksi yang diobati dengan antibiotik secara tepat dan tidak tepat di rumah sakit.

"Angka kematian akibat infeksi karena penggunaan antibiotik tidak tepat mencapai dua sampai tiga kali lipat dibanding penggunaan antibiotik secara tepat."

Sayangnya, lanjutnya, di Indonesia tidak ada data detail tentang angka kematian itu.

Efek samping

Amin mengatakan efek samping akibat pemberian antibiotik yang tidak tepat bisa dilihat dari pemberian dosisnya. Apabila dosis yang diberikan lebih tinggi atau lebih kuat akan mengakibatkan efek toksin (racun). Sedangkan pemberian dengan dosis rendah menyebabkan kuman menjadi resisten. Jadi, antibiotik harus diberikan secara tepat.

Pada obat-obat antibiotik yang kuat atau dosis tinggi, menurut Amin, bisa menyebabkan gangguan pada ginjal, tulang cepat keropos atau gigi mudah tanggal.

"Tren sekarang ini para dokter sering kali memberikan antibiotik untuk penyakit batuk, pilek, maupun diare. Padahal, penyakit semacam itu memiliki sifat bisa sembuh sendiri seiring membaiknya daya tahan tubuh. Sebab, ada juga batuk, pilek, maupun diare yang disebabkan virus. Sehingga pengobatan pun harus jeli dan tidak perlu menggunakan antibiotik."

Demikian juga dengan penderita demam berdarah (DB), lanjut Amin, untuk menyembuhkannya tidak perlu menggunakan antibiotik melainkan dengan cairan infus untuk menaikkan trombosit dan obat penurun panas.

"Pemberian antibiotik baru dilakukan apabila virus dengue sudah menyerang paru-paru, dan dikhawatirkan akan terjadi infeksi nosokomial yang ada di rumah sakit."

Ia menambahkan, selama ini argumentasi dokter memberikan antibiotik pada penyakit batuk, pilek, maupun diare supaya tidak terjadi infeksi sekunder. Padahal, tidak harus demikian cara pengobatannya.

Dalam kenyataan di lapangan apabila ada orang yang menggunakan antibiotik sembarangan atau penggunaannya tidak rasional, maka yang terjadi adalah bakteri-bakteri 'baik' di dalam tubuh akan terganggu.

"Masalahnya bukan karena jodoh atau tidak obat itu ke dalam tubuh. Pemberian antibiotik yang terlalu sering dan tidak rasional menyebabkan bakteri patogen dan bakteri 'baik' sama-sama terbasmi.

"Kalau bakteri baik terganggu, akibatnya ada beberapa bakteri yang berada di usus, kulit, saluran vagina maupun mulut ikut tereliminasi. Kalau bakteri 'baik' ikut tereliminasi, maka akan menyebabkan diare atau sebaliknya susah buang air besar karena tidak ada bakteri baik yang memproses pembuangan."

Sebab, kata Amin lagi, bagian-bagian tubuh tersebut sangat membutuhkan bakteri baik untuk keseimbangan. Demikian juga dengan kulit, akan menumbuhkan jamur-jamur karena bakteri baik tidak bisa bekerja maksimal.

Sedangkan pada mulut akan menumbuhkan sariawan. Orang yang sariawan selain kekurangan vitamin C juga akibat dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Pada saluran vagina juga akan timbul jamur yang menyebabkan keputihan.

Demikian juga dengan sakit gigi apabila ada lubang yang menimbulkan abses karena infeksi, adanya nanah dan bengkak baru diberikan antibiotik. Apabila sakit gigi hanya ngilu atau nyeri biasa tidak perlu diobati dengan antibiotik.

"Gigi yang nyeri bisa sembuh dengan sendirinya. Gigi dibersihkan dan apabila memang giginya sudah rusak bisa dicabut," kata dokter Amin.

Sebetulnya, jelas Amin, sudah ada informasi mengenai aturan pakai beserta efek samping dalam penggunaan antibiotik. Untuk itu harus dipatuhi oleh dokter maupun pasien. Dosis bisa diberlakukan dengan melihat berat badan, usia, riwayat penyakit, dan yang diutamakan adalah penyakit yang disebabkan infeksi, bukan penyakit lainnya. (Nda/V-1)

Sumber: www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004051903121403

0 komentar:


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Dresses. Powered by Blogger